Jumat, 01 April 2011

Yuk..., Hiasi diri kita dengan sifat malu...^^:♥::♥:: ::♥::♥:: ಌ.•´`•.ಌ.•´`•.ಌ.•´`•.ಌ.•´`•.ಌ.•´`•.ಌ.•´`•.ಌ

استحيوا من الله حق الحياء قالو إنا نستحي يا رسول الله. قال ليس ذلكم , ولكن من استحى منالله حق الحياء فاليحفظ الرأس وما وعي واليحفظ البطن وما حوي. وليذكر الموت والبلى . ومن اراد الاخرة ترك زينة الدنيا. فمن فعل ذلك فقد استحى من الله حق الحياء

“Malulah kalian kepada Allah dengan sebenarnya”. “Kami sudah malu wahai Rasulullah”, jawab para sahabat. Rasulullah bersabda :“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi ,Shahih Jami’ Shaghir no. 935)

النظرة سهم من سهام إبليس مسمومة فمن تركها من خوف الله أثابه جل و عز إيمانا يجد حلاوته في قلبه >>>
"Pandangan mata adalah salah satu panah iblis. Barangsiapa menahan pandangannya karena takut kepada Allah, niscaya Allah jalla wa 'azza 'kan berikan iman padanya dan ia pun 'kan temukan manisnya iman tersebut dalam hatinya"
>>> [المستدرك على الصحيحين jilid IV, hal.349, hadits nomor 7.875]

Sebenarnya apa malu itu? Para ulama menjelaskan, malu hakikatnya adalah akhlak yang dapat membawa seseorang untuk meninggalkan perbuatan tercela dan mencegahnya dari mengurangi hak yang lainnya. Demikian dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, Kitabul Adab Bab Al-Haya` wa Fadhluhu wal Hatstsu ‘alat Takhalluqi bihi.

Malu yang ada pada diri manusia ada dua macam:
Pertama, malu yang berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahi sifat malu, sehingga kita dapati orang itu pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang penting, dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada kepentingan, karena dia pemalu.
Kedua, malu yang diupayakan dari latihan, bukan pembawaan. Artinya, seseorang tadinya bukan seorang pemalu. Dia cakap dalam berbicara dan tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari mereka. Malu yang bersifat pembawaan itu lebih utama daripada yang kedua ini. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 234)

Al-Hafizh rahimahullahu menukilkan dari Ar-Raghib bahwa malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek. Dan ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia agar dia dapat berhenti dari berbuat apa saja yang dia inginkan, sehingga dia tidak akan seperti hewan. (Fathul Bari, 1/102) Sifat malu ini mendapatkan pujian dalam syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam sabdanya yang disampaikan oleh ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu:
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37) Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang sahabat yang mencela temannya karena rasa malu yang dimilikinya.
Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai seseorang yang sedang mencela saudaranya karena malu. Dia mengatakan, “Kamu ini merasa malu,” sampai dia katakan, “Rasa malu itu telah memudaratkanmu!” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 6118 dan Muslim no. 36).

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah pula mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Iman itu ada tujuh puluh sekian1 cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan ‘tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah’, yang paling rendah menghilangkan gangguan dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan.” (HR. Al-Bukhari no. 48 dan Muslim no. 35)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu dan ulama yang lain menjelaskan, “Sesungguhnya malu termasuk keimanan walaupun malu itu berupa sifat pembawaan. Karena, malu itu terkadang merupakan akhlak yang disandang atau hasil usaha seseorang seperti halnya amalan kebaikan lainnya, dan terkadang pula merupakan sifat pembawaan. Namun pelaksanaannya di atas aturan syariat membutuhkan upaya, niat, dan ilmu. Dengan ini, malu termasuk keimanan. Juga karena malu dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan.” (Syarh Shahih Muslim, 2/4)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah mengatakan:
“Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu dari keduanya, hilang pula yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1313 dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad: shahih).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah seorang yang memiliki sifat sangat pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu sifat malu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)

‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang terkenal memiliki sifat pemalu, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun malu kepadanya. Dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaring di rumahku dalam keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau. Kemudian Abu Bakr meminta izin menemui beliau. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau masih dalam keadaannya. Lalu Abu Bakr bercakap-cakap dengan beliau. Kemudian ‘Umar datang meminta izin untuk masuk. Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau tetap demikian keadaannya. Mereka pun berbincang-bincang. Kemudian ‘Utsman datang minta izin untuk menemui beliau. Beliau pun langsung duduk dan membenahi pakaiannya –Muhammad2 berkata: Aku tidak mengatakan bahwa hal ini terjadi dalam satu hari– ‘Utsman pun masuk dan berbincang-bincang. Ketika ‘Utsman pulang, Aisyah bertanya, “Abu Bakar masuk menemuimu, namun engkau tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau juga tidak bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Kemudian ketika ‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu!” Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yang malaikat pun merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401) Dalam riwayat yang lainnya dari ‘Aisyah dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya ‘Utsman itu orang yang pemalu. Aku khawatir, jika aku mengizinkan dia masuk dalam keadaan seperti tadi, dia tidak akan bisa menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402).

Ini menunjukkan bahwa malu adalah sifat yang terpuji dan termasuk sifat yang dimiliki oleh para malaikat. (Syarh Shahih Muslim, 15/168)

Tetapi, ke mana perginya rasa malu yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya itu dari jiwa sebagian kaum muslimin sekarang ini...????

Anak-anak tidak lagi merasa malu menonton tayangan yang tidak layak dilihat. Anak-anak gadis sekarang tidak lagi merasa malu bertemu dengan laki-laki yang tak seharusnya ditemui. Begitu pula anak laki-laki , tidak merasa malu pergi bermain dengan memakai celana pendek. Dia justru merasa malu bila harus berlatih memakai celana yang menutupi auratnya, karena akan berbeda dengan teman-teman sepermainannya. Anak-anak merasa malu jika tak mengenal mode atau tren terkini. Atau, justru orangtualah yang merasa malu jika anak-anaknya harus menghabiskan waktu untuk menghafal Al-Qur’an atau menempuh pendidikan agama. Tidak ada sederet gelar yang akan melekat di depan nama bila hanya belajar agama, begitu yang ada dalam pikiran. Mereka pun akan malu jika anak mereka ‘kuper’ karena tidak mau bergaul dengan lawan jenisnya. Allahul musta’an …. Keadaan telah berbalik.

Malu merupakan sifat yang terpuji, kecuali bila justru mencegah pemiliknya dari melaksanakan kewajiban atau menjatuhkannya pada keharaman. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 234) Jika rasa malu pada diri seseorang menghalanginya melakukan kebaikan atau mendorongnya berbuat kemaksiatan, atau menghalanginya untuk menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang dia hormati atau dia cintai, maka pada hakikatnya ini bukanlah malu, melainkan sikap lemah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu ketika menjelaskan hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu tentang malu, mengatakan bahwa malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/502).

Di antara perkara yang tidak pantas malu padanya adalah menuntut ilmu. Demikian yang ada dalam kehidupan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Jadi, belajar agama yang benar tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘tidak bergengsi’ sehingga orang harus malu melakukannya. Tidak layak pula malu bertanya tentang sesuatu hal yang penting untuk diamalkan dalam agama ini, walaupun nampaknya hal itu adalah sesuatu yang ‘tabu’.

Seperti Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi janabah bagi wanita yang ihtilam. Ummu Sulaim memulai pertanyaannya dengan ucapan yang begitu bermakna:“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu pada perkara yang benar…” (HR. Al-Bukhari no. 6121) Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah merasa malu dalam suatu majelis ilmu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontarkan pertanyaan kepada para sahabat yang ada di majelis itu. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ingin memberikan jawaban, namun rasa malu begitu menguasainya. Ketika mengetahui hal itu, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pun mencela perbuatan putranya. Berikut kisahnya:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti sebuah pohon yang hijau yang tak pernah berguguran daunnya.” Para sahabat pun menjawab, “Itu adalah pohon ini, pohon itu.” Aku ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma, sementara aku ini anak kecil sehingga aku pun merasa malu. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu pohon kurma.” Di dalam riwayat yang lain ada tambahan:
Kuceritakan kejadian itu kepada ayahku, ‘Umar, maka dia berkata, “Seandainya engkau tadi menjawab, itu lebih kusukai daripada memiliki ini dan itu.” (HR. Al-Bukhari no. 6122) Betapa jauh keadaan kita dengan para sahabat. Mereka berhias dengan rasa malu yang hakiki, yang dapat menahan diri mereka dari kehinaan. Mereka buang jauh-jauh sifat lemah yang menyebabkan seseorang segan melakukan kebaikan. Mulai sekarang mestinya, kita berbenah diri dan membenahi diri agar memiliki rasa malu. Rasa malu itu akan menuntun kita semua menuju kebaikan sehingga kelak akan sampai di surga. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Malu itu termasuk keimanan, dan keimanan itu tempatnya di surga, sementara kekejian3 itu termasuk kekerasan4, dan kekerasan itu tempatnya di neraka.” (HR. At-Tirmidzi no. 2009, dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi) Wallahu ta’ala a’lamu bishawab.

1 Al-bidh’u adalah hitungan antara tiga sampai sembilan.
2 Salah seorang perawi hadits ini.
3 Al-badza` adalah lawan dari malu, yang muncul darinya perkataan keji dan akhlak yang buruk.
4 Al-jafa` adalah lawan dari kebaikan. Pelakunya adalah orang-orang yang tidak menunaikan hak, bertabiat kasar dan berhati keras.

Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=501



coba deh..nih..banyak lho Keutamaan-Keutamaan Sifat Malu...
nih sebagiannya..^^

Allah SWT mencintai sifat malu,

“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemalu dan Maha Menutupi. Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan.” Hadits Shahih riwayat Abu Dawud (4012), an-Nasa-I (I/200), Ahmad (IV/224) dari Ya’la bin Umayyah radhiallahu’anhu.

Malu adalah akhlaq Islam,

“Sesungguhnya setiap agama itu berakhlaq, Sedangkan akhlaq agama islam adalah malu.” Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah (4181), al-Khara-ithi dalam Makaarimul Akhlaaq (49), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghiir (I/13-14) hadits dari Anas.


Termasuk bagian dari iman,
Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu, bahwasannya Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam melewati seorang laki-laki dari sahabat Anshar sedang menasehati temannya tetang rasa malu. Lalu Rasulullah Shollallahu’alaihi Wa Sallam bersabda, “Biarkan ia, sesungguhnya malu merupakan bagian dari iman” HR. Bukhari (Fathul Baari X/521), Muslim Syahr an-Nawawi II/6-7)

Sifat malu mendatangkan kebaikan,

“Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan” HR. Bukhari (Fathul Baari I/74)

Sifat malu menghantarkan ke surga
“Malu itu bagian dari iman. Dan iman tempatnya di surga, sedangkan ucapan keji termasuk bagian dari tabiat kasar, tabiat kasar itu tempatnya di neraka.” Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Hibban 1929, al-Hakim I/52, Ahmad II/501 dari banyak jalan.
dan masih banyak lagi keutamaannya yang lain..so, peliharalah sifat malu dalam dirimu untuk menjadi benteng penjagaan diri,,..ok!!!?

afwan, kalo kepanjangan...^^'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(¯`*•.¸ ♥..Langit Hati Sabrina..♥¸.•*´¯)

♫•*¨*•.¸

Cintailah seseorang tanpa melihat, tanpa mendengar..
Cintailah ia dengan hati seutuhnya rasa..

Sebab bila mencintai dengan pandangan,
disaat ia buyar bisa saja cinta itu pupus..

Bila mencintai dengan pendengaran,
disaat tak terdengar bisa saja cinta itu hilang..

Lain halnya degan hati yang memilih seutuh rasa,
maka ia akan abadi sebab cintanya terlahir dari tahta Ilahi Robb..


Mencintailah karna_Nya & di Cintai karna_Nya

¸.•*¨*•♫


“Lelaki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung.

Jika dua sayap sama kuatnya,

maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya,

jika patah satu dari pada dua sayap itu,

maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.”


(Bung Karno)

♥♫•*¨*•.¸..." Tidak serta merta ketika kita mengatakan cinta sesuatu karna Allah, melainkan Allah mendengar lalu menguji cinta, apakah cinta itu benar-benar karna Allah atau karna nafsu dunia belaka, barangsiapa karna dunia saja maka cinta yang didapat hanya semu belaka sedangkan cinta yang dilandasi karna Allah maka akan hakiki karna cinta yang dilandasi kepada sang Maha Pemberi Cinta

( akhwatul iman ) "¸¸.•*¨*•♫♥

Ibrahim berkata, aku pernah bertanya kepada Fudhail bin Iyadh: “Apa rendah hati itu?” Ia menjawab: “Tunduk dan patuh kepada kebenaran. Walaupun engkau mendengarnya dari seorang anak kecil, engkau tetap harus menerima kebenaran itu. Walaupun engkau mendengarnya dari orang yang paling bodoh, engkau harus menerima kebenaran itu juga.” Lalu aku bertanya kepadanya: “Apa arti sabar terhadap musibah itu?” Ia menjawab: “Tidak menyebarluaskannya.

(Hilyatul Auliyaa 8/91)



Al haqquminallah wa khoto mini

( Kesempurnaan datangnya dari Allah dan kekurangan datangnya dari saya pribadi )

“Unzhur mâ qâla wa lâ tanzhur man qâla.”

(Prhatikanlah apa yang dikatakan dan janganlah kau prhatikan siapa yg mngatakan)



Syukron yaa,, telah sudi berkunjung di blog saiyah yang sederhana ini,,..

Afwan,, kaloo masih ada kekurangan dalam blog saiyah ini, karna saiyah adalah hamba-Nya yang tak lah sempurna dan masih belajar.,so,.. kesempurnaan tak lah nampak kalo tak ada yang namanya kekurangan,..

Semoga blog saiyah ini bermanfaat untuk semuanyaa,, saling berbagi ilmu iyaahhh...’(。✿‿✿。)